"Gw itu ya akan deketnya sama orang yang sering berinteraksi sama gw aja di saat itu." P bersikeras mencari alasan atas ucapanku tentang M, sahabat dekat P. Mereka berdua sangat akrab, dulu. Sekarang aku melihat kejanggalan hubungan di antara mereka. Kalau orang pacaran mungkin aku akan maklum, ketika pasangan tersebut diem-dieman, jauh-jauhan, artinya mereka putus. Tapi apakah pertemanan itu bisa putus?? Entahlah,
Aku hanya mendengarkan dengan seksama, temanku yang baik, bukan hanya karena dia sering mentraktir, atau sekedar sms menanyakan kabar. Tapi dia orang yang sangat supel dengan semua orang. Senang rasanya bisa deket dia, tapi aku merasa tidak enak karena seperti merebut P dari M.
" Terus??" aku hanya mengucapkan satu kata
" Terus kenapa??" P terlihat bingung
" Iya, kamu itu sekarang kayak orang musuhan, sebenernya kamu ada masalah apa sama M?" aku mulai memaksa dan terkesan memojokkan
Dan dia diam, yaa,,aku percaya kamu P, kamu memang tidak pernah membuat masalah sekecil apapun, apalagi dengan teman seakrab itu.
Tapi analisisku, kamu mengakhiri hubungan pertemanan itu bukan dengqn cara yang baik. Mungkin terbilang angkuh, sekali lagi aku menghormatimu, sebagai teman yang baru mengenalmu dekat, waktu itu.
Empat bulan kemudian, mereka sudah terbiasa lagi, tapi kaca yang retak tidak mungkin bisa utuh kembali. Hubungan mereka seperti baru dimulai. Empat bulan setelah itu. giliran aku yang merasakan nasib seperti M. Aku merasa seperti ada seseorang yang merebut P, aku tidak lagi leluasa menanyakan kabarnya seperti dulu, aku tidak mendapati keluhan-keluhan dan cerita menariknya setiap bertemu. Kamu, P, memalingkan wajahmu setiap kita bertemu, pura-pura sibuk dengan teman baru-mu setiap mata kita saling bertemu..*hiyaa..
Intinya, kamu dulu angkuh terhadap M, sekarang kamu angkuh padaku.
Apa sebenarnya salahku? aku itu punya salah apa ke P?
Aku berbuat apa yang membuat kamu tidak suka, tolong katakan, biar kuperbaiki cara berpikirku dan mungkin caraku menyapamu
Aku tetap mempertahankan sikapku yang lama, bahkan meningkatkanya dengan LEBIH memperhatikanmu. Tapi rasanya sulit, aku seperti berjuang sendiri. Kalau memang sudah bosan, huwaah, apakah pertemanan itu membosankan? atau memang aku yang membosankan, yang jelas aku adalah seorang yang idealis, ketika aku telah mengenalmu, aku akan berusaha memegang kebebasan, melihatmu tersenyum senang walau tidak bersamaku lagi. Bukan pasrah, aku menghormati keputusanmu, menghargai keinginanmu, sungguh, sekali lagi aku tidak memaksamu. Aku akan mengakhiri pertemanan kita dengan baik...^_^
x x x
di saat yang berbeda, dengan dia yang berbeda
pesan singkat: "Semoga Allah memberikan yang terbaik buat kita semua" isi sms itu tak kusangka menjadi sms terakhir darimu. Sms terakhir dimana kamu masih memandangku dengan pancaran mata yang berbeda, penuh keramahan, cahaya pertemanan yang tulus. Saat kita berpisah di peron stasiun itu, aku begitu khawatir hatiku tercemar keegoisan dan kedengkian. Tapi aku tidak bisa tegas mempertahankanmu sebagai teman, aku hanya melihat idealisme hati tanpa mencoba memandang hatimu.
Ah, aku ingat esoknya kamu masih mencoba memperhatikanku, menanyakan kabarku. Aku rutin membalasnya, menikmati perkenalan denganmu, perhatianmu, kebaikan-kebaikanmu, begitu indah pertemanan itu ya. Aku ingat, kamu juga masih mengatakan "kalau butuh bantuan, jangan segan, hubungi ya"
Entahlah, itu ucapan perpisahan ataukah basa-basi. Huff
" Kamu apa kabar?" aku mencoba menanyakan kabarmu, mengusir buruk sangka
" Alhamdulillah baik," kamu pun menjawabnya dengan sangat singkat, dan tidak menanyakanku kembali. Satu bulan setelah sms terakhir itu, kamu tidak pernah lagi menyapaku
Yaah wajar, pikirku, mungkin saat itu kamu dan aku sedang re-covery hati, aku mencoba intropeksi diri, apa kesalahanku, aku membiarkan kamu menjauhiku. Berdoa agar waktu mampu menyembuhkan luka hatimu yang sudah kuiris sampai perih. Dan aku tak henti-hentinya menderaskan air mata ini, asik dengan pikiranku sendiri, sedalam apa luka yang sudah kutorehkan. Kalimat apa yang menyakitimu sebegitu dalam.
Dua tahun setelah itu, alhamdulillah, aku melihatmu tertawa lepas di depanku. Tapi ketika aku bicara, kamu masih saja diam dan memalingkan pandanganmu dari wajahku, huwaah, tega sekali kamu membiarkanku bertanya-tanya, salah apa sebenarnya aku.
Pernah aku mencoba memastikannya, tapi kamu hanya berkata " Maaf kenapa? saya memang selalu begini setiap hari." Bahkan kamu menjadi sedemikian formal di hadapanku
Aku salah apaa,,tolong beritahu, agar kuperbaiki, aku tidak suka memiliki "mantan teman"
Kalau kamu mau hubungan itu berakhir, cukup akhiri dengan baik
Idealisme itu membuatku kehilangan sosokmu, keramahanmu, keceriaanmu, bahkan aku melihat dengan jelas kamu membaginya untuk yang lain, sementara kamu membangun tembok tinggi jika kebetulan aku di sana. Memang tidak frontal caramu menjauhiku, dengan halus tetapi cukup membuatku sakit dan demi idealisme itu aku harus bersabar.
Sabar menunggu pintu maaf darimu, walau aku sebenarnya rindu dengan keramahanmu.
*Dua kisah yang mengenaskan yang kualami dengan dua orang teman, entahlah masih terbukakah pintu maaf dari mereka untukku walau sedikit?
Jika saja kalian tahu, menderitanya aku dijauhi kalian, walau seribu teman lainnya datang silih berganti.
Maukah kalian memaafkanku, minimal tetaplah memanggilku dengan cara yang sama seperti dulu, aku paham dengan keadaan kalian. Aku tidak 24 jam mengganggu kalian bukan, berusahalah tersenyum di hadapanku ketika kita bertemu. Sapa aku dengan kekhasan kalian dulu. Atau jauhi aku sejauh-jauhnya, dan aku kembali asik dengan masa lalu itu..
No comments:
Post a Comment