Thursday, August 11, 2016

Madu dan Racun

         Gara-gara nyaksiin acara persidangan kasus kopi racun Jessica seharian dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam, via televisi sih. Saya jadi mikir, kok ada ya teman yang sampai setega itu membunuh temannya sendiri, pakai racun pula. Memang belum diputuskan Jessica itu pembunuhnya, tapi semua bukti-bukti mengarah ke dia. Ya kali jelas-jelas terekam di cctv masih bisa mengelak. Lantas saya berpikir, betapa nyawa manusia itu benar-benar menjadi tidak berharga, masa iya karna dendam sesaat atau kesal dikit, mau bunuh orang.

       Lain halnya dengan kisah perempuan yang cerita sama saya. Sebut saja Ita, dia seorang istri yang keren lah menurut saya, berjilbab dalam artian yang sebenarnya, dia sholihah, lembut tutur katanya, pendidikan sarjana, tampang kece, body ideal. Semenjak menikah, Ita memutuskan untuk menjadi fully housewife yang berbakti pada suaminya. Suaminya seorang dosen muda di universitas beken, penghasilan cukuplah untuk kebutuhan primer, padahal Ita berasal dari keluarga tajir. Segala kebutuhannya selalu dipenuhi kedua orang tuanya, sejak SMA Ita sudah dipercaya membawa mobil sendiri, tentu bukan mobil murahan, tapi sekelas sedan mewah. Kefahaman agama yang baik membuat Ita ikhlas meninggalkan fasilitas dari keluarganya dan rela tinggal di rumah kontrakan sederhana (persis sinetron), tapi itu nyata loh. Ita lulusan ekonomi dan bisnis, ia meminjam modal di koperasi dekat tempat tinggalnya dan memulai berbisnis jasa fotografi. Ita rela seharian menyebar brosur, keluar masuk acara pernikahan, sunatan untuk menjadi tukang foto. Melalui bisnis itu Ita bisa mengumpulkan uang untuk uang muka rumah mungil impiannya. Sudah 3 tahun usia pernikahan Ita, bisnisnya sudah berkembang, sebenarnya diam-diam Ita dibantu ayahnya dalam hal pemasaran, tapi Ita tidak masalah, ia senang ayahnya melihat bahwa Ita bisa tetap produktif walaupun memilih menjadi ibu rumah tangga.

        Selama 3 tahun berikutnya, suami Ita meneruskan pendidikan doktoral di Jepang, dan otomatis Ita tidak mendapatkan pemasukan dari suaminya, malah Ita yang kadang harus memback up keuangan minim suaminya. Ita pun tidak mempermasalahkan, kadang Ita harus bekerja lembur untuk bisa menabung dan mengunjungi suaminya di sana. Selama tahun pertama Ita sudah 4 kali bolak balik ke Jepang, ia merasa sangat rindu dengan suaminya. Tahun kedua Ita sedang mendapat ujian dalam bisnisnya, ia mengalami kerugian,tapi semua ia pendam, Ita masih suka mengunjungi suaminya di Jepang sesekali.
        Singkat cerita, setelah tugas belajar suaminya selesai, Ita bisa berkumpul lagi dengan suami terkasihnya, menginjak usia pernikahan 6 tahun, Ita belum juga dikaruniai buah hati, padahal bisnis Ita berkembang pesat, ia sudah membeli mobil bekas untuk mobilisasi kesana sini, rumahnya pun sudah tidak ngontrak lagi. Masalah yang timbul justru dari hubungan suami istri, suaminya mulai sering pulang malam, berangkat subuh, dan mereka menjadi jarang berkomunikasi, desakan pertanyaan-pertanyaan tetangga, saudara, rekan, orang tua tentang kapan punya anak semakin sering di telinga Ita. Tapi Ita tetap Husnuzhon, berbaik sangka pada semua takdir Allah. Ita berpikir suaminya memiliki pemikiran yang sama dengannya, tapi ternyata ia salah. Suaminya justru mengalami kenyamanan dengan rekan kerja wanitanya, yang selama tiga tahun juga bersama-sama menempuh tugas belajar di luar negeri. Sesuatu yang tidak pernah Ita duga sebelumnya, suaminya minta izin untuk poligami, dengan alasan, mereka belum juga memperoleh keturunan di usia 7 tahun pernikahan. Saya mendengar cerita mba Ita cukup sedih, Karena respon mba Ita adalah tidak setuju dengan pernikahan poligami. Ita hanya berdoa dan memohon ketabahan, ia tidak mau bercerai tapi hatinya belum sepenuhnya menerima suaminya punya istri baru.

       Dengan hati bimbang, Ita meminta izin suaminya untuk menenangkan diri selama dua tahun sambil ia meneruskan sekolah magister di luar negeri. Ita masih bertahan untuk tidak mau pisah tapi juga menyerahkan keputusan menikah pada suaminya, tapi Ita tidak full mengizinkan. Konflik ini didengar keluarga dua belah pihak, Ita hanya meminta orang tuanya jangan menyalahkan suaminya, semua ini ia anggap adalah qadarullah, dan Ita hanya berusaha husnuzhon. Selama perpisahan itu, ternyata Ita mengandung benih cinta dengan suaminya, ia diam dan rahasiakan, ia berjuang sendiri di negeri orang, menuntut ilmu sambil mengurus kehamilannya. Berat memang perjuangannya, dan saat ini Ita masih dalam kehamilannya yang masuk usia 4 bulan. Kasihan mba Ita, tapi jujur saya salut dengannya, ia mampu menjadi wanita tangguh, mudah-mudahan ada jalan terbaik untuk permasalahan madu dan racun ini.



cheers ners Eka

No comments:

Post a Comment