#1
“ Pake
aja motor gw ka, gampang ko, asal hati-hati aja, lo kan belum ada lisensinya” P,
temanku yang bertubuh subur tapi sangat lincah itu menyerahkan kunci motornya
padaku
“ Yakin
lo mau minjemin ke gw? Gw gak bisa naik motor, gw belum pernah praktek, teori
sih jago.
”. Sedikit aku berbohong karena aku agak sangsi juga sih dengan
kemampuan sendiri, padahal aku belajar motor sejak kelas 3 SMP, tapi belum
pernah diasah lagi sejak terakhir memutuskan berhenti mengendarai motor akibat
mencelakai orang. Kejadian traumatik itu sekitar akhir kelas 2 SMA.
“ Iyaa,
kapan lagi lo belajar kalo gak sekarang.. Tapi mending lo belajar sendiri, gw
gak terlalu ahli menuntun orang sukses naik motor.” P meyakinkan.
Huwaah,
selama empat tahun kuliah, ini pertama kalinya aku memegang kembali stang
motor. Kalau bukan karena lokasi praktik keperawatan komunitas itu agak jauh
dari jalan raya, satu-satunya temanku yang bawa motor dalam kelompok harus
sendirian mengendarai, tidak ada teman untuk bergantian kesana kemari, rasanya
mustahil aku kembali di balik stang motor.
Berbekal
tekad untuk mengurangi kerepotannya menjadi humas kelompok praktik yang
tugasnya mengunjungi rumah para kader, tokoh masyarakat dengan lokasi berjauhan
dari posko kelompok kami, menjemput dosen-dosen yang hendak memberikan
bimbingan di posko kami, aku mencoba memunculkan kembali kenekatanku dengan
dunia motor. Toh dulu, kejadian traumatik itu bukan karena tidak lancar menghafal
step by step cara menghidupkan mesin motor, melainkan karena aksi kebut-kebutan
di jalan raya. Jadi kalau bawa motor di lokasi se-aman Kelurahan Pasir Gunung
Selatan, insya Allah 2-3 hari aku sudah lancar lagi.
Bismillah,
percobaan pertama,;
Langkah
pertama: kustarter motor jenis matic ini,
sambil memegang rem tangan sebelah kiri, biar gak loncat katanya. Trereettt,,bruuuummm
bruum!!! Mesin motor hidup, berhasil, kalau tangan kanan ini memegang stang dan
kuputar ke belakang pelan-pelan, pasti langsung jalan. Pucat sudah rasanya
wajahku membayangkan jalan lurus di depan, banyak motor bersileweran,
orang-orang jalan, kalau dari arah berlawanan terdapat mobil, apa yang harus
kulakukan??? Tess!! titik peluh dari keningku menetes ke atas rok hitam yang
wajib kukenakan selama jam praktik berlangsung.
“ Ada
rem tangan ka, kalau masih kurang pakem, kaki lo turunin aja, haha, kayak
sepeda... jangan khawatir kalau pelan-pelan dan jalan di jalur yang benar, gak
bakal nabrak. Nanti kalau mau belok lihat kaca spion dulu terus nyalain lampu
sein-nya.” Agaknya si P bisa membaca pikiranku, dia menerangkan pemakaian
motornya dengan detail dan sabar.
Oke,
tiba-tiba keberanianku benar-benar muncul. “Iya tenang aja.”
Langkah
kedua: istigfar, membaca doa keluar rumah, minta perlindungan pada Allah, fokus
pandangan ke arah depan, munculkan sense peka
dengan lingkungan. Tanggap kalau diklaksonin, mainkan gas dengan halus, kapan
harus nge-rem, kapan tambah kecepatan, lihat jalan yang kosong, jangan berada
di belakang angkot. Selesai!!!
Langkah
ketiga: satu minggu, aku sudah resmi menjadi supir cadangan menggantikan P
kalau ia lelah atau sedang ada urusan, aku siap mengantar ini-itu, menjemput
dosen, mengambil peralatan penyuluhan dari kampus, mencari makanan. Yippi,
berhasil!!!!!
Dia, si
pengendara motor merah pertama yang mampu memunculkan kembali kepercayaan
diriku.
Motor merah pertama ^^ |
Suatu hari, pulang dari dinas malam di
sebuah RS pendidikan.
Pagi
se-cerah itu di depan stasiun Tanjung Barat, kali ini aku duduk manis di
belakang P. Pengendara motor merah terlihat agak ngantuk dan sebal, pasalnya
semalam ia tidak diberikan waktu tidur sekejap saja oleh kakak perawat di
ruangan. Aku menghiburnya dengan mengajak nyanyi di sepanjang perjalanan menuju
Depok. Apa daya tidak berhasil, apalagi suaraku itu bagus, lebih bagus kalau
diam maksudnya.
Priiiiiiiitttt
priiiiiiiiiiiittt priiiiiiiiiiiiiiiitttt!!!!!!!
Hiyaah,
lima meter di depan sana, bapak-bapak gendut berkumis, berseragam cokelat,
memakai rompi jaket berwarna hijau mencolok menyetop kami. Aduuh males banget
kalau kena tilang gini, lagi ngantuk luar biasa, mood sedang rusak-rusaknya,
emosi naik ke kepala, mata merah, efek kami begadang semalam dengan pekerjaan
yang mengalir tanpa henti selama 13 jam full.
“
Selamat pagi Nona!!!” Polisi itu berusaha menyapa kami ramah, tapi yang
kurasakan adalah topeng banget sih nih Bapak, cari kesempatan kan, tanggal tua
nih, bukannya jadi ritual rutin tiap tanggal segitu untuk cari korban demi
mengembalikan modal. Uppss, astagfirulloh, belum-belum sudah suudzon nih.
“
Selamat pagi pak Polisi yang baik..” Ekspresi P langsung berubah ramah, senyum
dan terkesan mengajak bercanda polisi, aku jadi bingung.
“
Rasanya pernah ngeliat, adek kuliah atau kerja?” balik polisi itu menyapa,
sekarang ganti panggilan jadi adik?
“
Kuliah pak.”
“
Kuliah dimana?”
“ Di UI
Depok pak, kalau di sini masuk rayon Jakarta kan ya pak, bapak operasi di
Jakarta juga?”
“ Oh
ya, pernah memang di Depok, tapi jarang sekali, baiklah adik tahu kesalahannya
apa?”
“ Gak
pak....” sumpah tampangnya polos banget, sepanjang temenan, belum pernah lihat
P dengan wajah terlalu lugu begitu
“ Adik
tidak menyalakan lampu depan, bukannya tahu kalau itu peraturan? Sekarang
tunjukkan SIM dan STNK motornya, kalau bisa menunjukkan saya bebaskan.”
Sekarang nada bicara bapak polisi itu lebih tegas dan agak meninggi, mungkin
bermaksud menunjukkan keluasan wewenang yang ia miliki, ahh aku lebih suka
menyebutnya keangkuhan yang dipelihara polisi lalu lintas sejak masa
pendidikan.
“ Oke
pak, sebentar ya. Eka tolong goody-bag
gw. “ Aku menyerahkan tas tangan warna hijau milik P. Itu kan tas baju kotor
kita, apa iya dia nyimpen SIM di sana.
“
Pegangin dulu ka,nih, pegangin juga, tolong ya” P mengeluarkan pakaian dinas
kami berwarna putih, satu persatu mulai dari jilbab, atasan, celana dan
terakhir map plastik yang berisi kertas-kertas tugas kami.
“
Katanya kuliah?” pak polisi iseng bertanya
“ Iya
pak, kami lagi praktik di rumah sakit X,” aku sekenanya menjawab, sebenarnya
aku khawatir dengan P, apakah dia bawa SIM dan STNK-nya, mukaku panik. Tapi
kulihat P tenang-tenang saja. Tampaknya ia ingin mengisengi pak polisi itu.
“ Aduh
kayaknya kok ribet banget ya, semuanya dikeluarin, lain kali SIM dan STNK itu
taruh di dompet, biar gak susah ngambilnya.” Pak polisi itu sepertinya sudah
gerah
“ Pak
polisi yang baik, seperti yang dikatakan teman saya, semalam kami dinas malam,
dan sebagai mahasiswa praktik kami harus hati-hati menjaga barang supaya tidak
hilang, makanya saya memutuskan untuk tidak membawa dompet. Saya taruh
kartu-kartu identitas di map tugas saya, mohon tunggu sebentar ya pak.” P
menjelaskan panjang lebar.
Aku
melirik jam tangan, sepertinya hampir 10 menit kami di stop oleh polisi
tersebut. Entah ia menyerah atau apa, pak polisi itu membiarkan kami pergi.
“
Udah-udah, kelamaan, kalian pergi aja, lain kali nyalain lampu depan walaupun siang
hari.”
Entah
karena melihat keluguan kami, lipatan baju dinas putih kami yang maha dahsyat
itu atau apapun, aku sangat kagum dengan
trik P.
“
Sebenernya lo bawa SIM-STNK gak sih P?” aku masih penasaran
“ Ini
bukan masalah bawa atau gak bawa, yang jelas baju putih itu keramat, kalau kita
menghargai baju putih yang suci itu, dia bisa menyelamatkan kita dari kondisi
apapun. Udah dua kali gw hampir ditilang polisi, tapi karena mereka ngeliat
baju putih perawat, mereka menghargai profesi kita dan bebas deh.” hooo, P itu
memang cerdik.. Entah kenapa dia beranggapan baju putih perawat mampu
menyelamatkan dari tilangan polisi,
Sampai
sekarang aku masih penasaran, sebenarnya waktu itu dia bawa SIM dan STNK atau
tidak ya?? who knows
Semoga
aku berjodoh dengan pengendara motor merah selanjutnya..^^
cheers Ners. Eka ^_^
si P memang cerdik :)
ReplyDeletedan sekarang aku berfikir, berjodoh dengan pengendara motor merah yang mana niih?? P atau pengendara motor merah yang lainnya??? Eeaaa #kabooooor