Thursday, August 16, 2012

Dia si Pengendara Motor Merah... (Edisi Percaya diri si Baju keramat)


#1
“ Pake aja motor gw ka, gampang ko, asal hati-hati aja, lo kan belum ada lisensinya” P, temanku yang bertubuh subur tapi sangat lincah itu menyerahkan kunci motornya padaku

“ Yakin lo mau minjemin ke gw? Gw gak bisa naik motor, gw belum pernah praktek, teori sih jago.

 ”. Sedikit aku berbohong karena aku agak sangsi juga sih dengan kemampuan sendiri, padahal aku belajar motor sejak kelas 3 SMP, tapi belum pernah diasah lagi sejak terakhir memutuskan berhenti mengendarai motor akibat mencelakai orang. Kejadian traumatik itu sekitar akhir kelas 2 SMA.
“ Iyaa, kapan lagi lo belajar kalo gak sekarang.. Tapi mending lo belajar sendiri, gw gak terlalu ahli menuntun orang sukses naik motor.” P meyakinkan.

Huwaah, selama empat tahun kuliah, ini pertama kalinya aku memegang kembali stang motor. Kalau bukan karena lokasi praktik keperawatan komunitas itu agak jauh dari jalan raya, satu-satunya temanku yang bawa motor dalam kelompok harus sendirian mengendarai, tidak ada teman untuk bergantian kesana kemari, rasanya mustahil aku kembali di balik stang motor.

Berbekal tekad untuk mengurangi kerepotannya menjadi humas kelompok praktik yang tugasnya mengunjungi rumah para kader, tokoh masyarakat dengan lokasi berjauhan dari posko kelompok kami, menjemput dosen-dosen yang hendak memberikan bimbingan di posko kami, aku mencoba memunculkan kembali kenekatanku dengan dunia motor. Toh dulu, kejadian traumatik itu bukan karena tidak lancar menghafal step by step cara menghidupkan mesin motor, melainkan karena aksi kebut-kebutan di jalan raya. Jadi kalau bawa motor di lokasi se-aman Kelurahan Pasir Gunung Selatan, insya Allah 2-3 hari aku sudah lancar lagi.

Bismillah, percobaan pertama,;
Langkah pertama: kustarter motor jenis matic ini, sambil memegang rem tangan sebelah kiri, biar gak loncat katanya. Trereettt,,bruuuummm bruum!!! Mesin motor hidup, berhasil, kalau tangan kanan ini memegang stang dan kuputar ke belakang pelan-pelan, pasti langsung jalan. Pucat sudah rasanya wajahku membayangkan jalan lurus di depan, banyak motor bersileweran, orang-orang jalan, kalau dari arah berlawanan terdapat mobil, apa yang harus kulakukan??? Tess!! titik peluh dari keningku menetes ke atas rok hitam yang wajib kukenakan selama jam praktik berlangsung.

“ Ada rem tangan ka, kalau masih kurang pakem, kaki lo turunin aja, haha, kayak sepeda... jangan khawatir kalau pelan-pelan dan jalan di jalur yang benar, gak bakal nabrak. Nanti kalau mau belok lihat kaca spion dulu terus nyalain lampu sein-nya.” Agaknya si P bisa membaca pikiranku, dia menerangkan pemakaian motornya dengan detail dan sabar.

Oke, tiba-tiba keberanianku benar-benar muncul. “Iya tenang aja.”

Langkah kedua: istigfar, membaca doa keluar rumah, minta perlindungan pada Allah, fokus pandangan ke arah depan, munculkan sense peka dengan lingkungan. Tanggap kalau diklaksonin, mainkan gas dengan halus, kapan harus nge-rem, kapan tambah kecepatan, lihat jalan yang kosong, jangan berada di belakang angkot. Selesai!!!

Langkah ketiga: satu minggu, aku sudah resmi menjadi supir cadangan menggantikan P kalau ia lelah atau sedang ada urusan, aku siap mengantar ini-itu, menjemput dosen, mengambil peralatan penyuluhan dari kampus, mencari makanan. Yippi, berhasil!!!!!

Dia, si pengendara motor merah pertama yang mampu memunculkan kembali kepercayaan diriku.
Motor merah pertama ^^

Suatu hari, pulang dari dinas malam di sebuah RS pendidikan.

Pagi se-cerah itu di depan stasiun Tanjung Barat, kali ini aku duduk manis di belakang P. Pengendara motor merah terlihat agak ngantuk dan sebal, pasalnya semalam ia tidak diberikan waktu tidur sekejap saja oleh kakak perawat di ruangan. Aku menghiburnya dengan mengajak nyanyi di sepanjang perjalanan menuju Depok. Apa daya tidak berhasil, apalagi suaraku itu bagus, lebih bagus kalau diam maksudnya.

Priiiiiiiitttt priiiiiiiiiiiittt priiiiiiiiiiiiiiiitttt!!!!!!!

Hiyaah, lima meter di depan sana, bapak-bapak gendut berkumis, berseragam cokelat, memakai rompi jaket berwarna hijau mencolok menyetop kami. Aduuh males banget kalau kena tilang gini, lagi ngantuk luar biasa, mood sedang rusak-rusaknya, emosi naik ke kepala, mata merah, efek kami begadang semalam dengan pekerjaan yang mengalir tanpa henti selama 13 jam full.

“ Selamat pagi Nona!!!” Polisi itu berusaha menyapa kami ramah, tapi yang kurasakan adalah topeng banget sih nih Bapak, cari kesempatan kan, tanggal tua nih, bukannya jadi ritual rutin tiap tanggal segitu untuk cari korban demi mengembalikan modal. Uppss, astagfirulloh, belum-belum sudah suudzon nih.

“ Selamat pagi pak Polisi yang baik..” Ekspresi P langsung berubah ramah, senyum dan terkesan mengajak bercanda polisi, aku jadi bingung.

“ Rasanya pernah ngeliat, adek kuliah atau kerja?” balik polisi itu menyapa, sekarang ganti panggilan jadi adik?
“ Kuliah pak.”
“ Kuliah dimana?”
“ Di UI Depok pak, kalau di sini masuk rayon Jakarta kan ya pak, bapak operasi di Jakarta juga?”
“ Oh ya, pernah memang di Depok, tapi jarang sekali, baiklah adik tahu kesalahannya apa?”
“ Gak pak....” sumpah tampangnya polos banget, sepanjang temenan, belum pernah lihat P dengan wajah terlalu lugu begitu

“ Adik tidak menyalakan lampu depan, bukannya tahu kalau itu peraturan? Sekarang tunjukkan SIM dan STNK motornya, kalau bisa menunjukkan saya bebaskan.” Sekarang nada bicara bapak polisi itu lebih tegas dan agak meninggi, mungkin bermaksud menunjukkan keluasan wewenang yang ia miliki, ahh aku lebih suka menyebutnya keangkuhan yang dipelihara polisi lalu lintas sejak masa pendidikan.

“ Oke pak, sebentar ya. Eka tolong goody-bag gw. “ Aku menyerahkan tas tangan warna hijau milik P. Itu kan tas baju kotor kita, apa iya dia nyimpen SIM di sana.
“ Pegangin dulu ka,nih, pegangin juga, tolong ya” P mengeluarkan pakaian dinas kami berwarna putih, satu persatu mulai dari jilbab, atasan, celana dan terakhir map plastik yang berisi kertas-kertas tugas kami.

“ Katanya kuliah?” pak polisi iseng bertanya
“ Iya pak, kami lagi praktik di rumah sakit X,” aku sekenanya menjawab, sebenarnya aku khawatir dengan P, apakah dia bawa SIM dan STNK-nya, mukaku panik. Tapi kulihat P tenang-tenang saja. Tampaknya ia ingin mengisengi pak polisi itu.

“ Aduh kayaknya kok ribet banget ya, semuanya dikeluarin, lain kali SIM dan STNK itu taruh di dompet, biar gak susah ngambilnya.” Pak polisi itu sepertinya sudah gerah
“ Pak polisi yang baik, seperti yang dikatakan teman saya, semalam kami dinas malam, dan sebagai mahasiswa praktik kami harus hati-hati menjaga barang supaya tidak hilang, makanya saya memutuskan untuk tidak membawa dompet. Saya taruh kartu-kartu identitas di map tugas saya, mohon tunggu sebentar ya pak.” P menjelaskan panjang lebar.

Aku melirik jam tangan, sepertinya hampir 10 menit kami di stop oleh polisi tersebut. Entah ia menyerah atau apa, pak polisi itu membiarkan kami pergi.

“ Udah-udah, kelamaan, kalian pergi aja, lain kali nyalain lampu depan walaupun siang hari.”
Entah karena melihat keluguan kami, lipatan baju dinas putih kami yang maha dahsyat itu atau  apapun, aku sangat kagum dengan trik P.

“ Sebenernya lo bawa SIM-STNK gak sih P?” aku masih penasaran
“ Ini bukan masalah bawa atau gak bawa, yang jelas baju putih itu keramat, kalau kita menghargai baju putih yang suci itu, dia bisa menyelamatkan kita dari kondisi apapun. Udah dua kali gw hampir ditilang polisi, tapi karena mereka ngeliat baju putih perawat, mereka menghargai profesi kita dan bebas deh.” hooo, P itu memang cerdik.. Entah kenapa dia beranggapan baju putih perawat mampu menyelamatkan dari tilangan polisi,

Sampai sekarang aku masih penasaran, sebenarnya waktu itu dia bawa SIM dan STNK atau tidak ya?? who knows

Semoga aku berjodoh dengan pengendara motor merah selanjutnya..^^


cheers  Ners. Eka ^_^

1 comment:

  1. si P memang cerdik :)
    dan sekarang aku berfikir, berjodoh dengan pengendara motor merah yang mana niih?? P atau pengendara motor merah yang lainnya??? Eeaaa #kabooooor

    ReplyDelete