Saturday, March 15, 2014

Tentang kusta, penyakit tidak mematikan tapi memalukan

Pengertian
    Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Kemenkes RI, 2007).

Penyebab
    M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873.  Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo. (Kemenkes RI, 2007).

Perjalanan Klinis Penyakit Kusta
    Perjalanan klinik penyakit kusta merupakan suatu proses yang lambat dan menahun sehingga seringkali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit didalam tubuhnya. Sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah endemis kusta pernah terinfeksi oleh kumanM. Leprae. Proses ini berjalan sangat lambat sebelum munculnya gejala klinis yang pertama. Setelah melewati masa inkubasi yang cukup panjang (sekitar 2-5 tahun) akan muncul gejala awal (Kemenkes RI, 2007).
   M. Leprae lebih menyukai berada di daerah-daerah yang relatif lebih dingin. Sebenarnya M. Leprae memiliki keganasan dan dayainvasive yang rendah, sebab penderita yang memiliki kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang mendorong timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta disebut sebagai penyakit imunologi. Gejala-gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya. (Kosasih, 1987)

Cara Penularan
    Meskipun cara masuk kuman M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian menyebutkan bahwa kuman dapat masuk melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal (hidung).
    Penularan terjadi apabila kuman M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yanglama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak  menjadi sumber penularan kepada orang lain.
    Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh penderita sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. (Kemenkes RI, 2007).

Masa Inkubasi
    Penyakit kusta merupakan penyakit menahun karena timbulnya tanda pertama penyakit membutuhkan waktu bertahun-tahun setelah kuman kusta masuk tubuh seseorang. Diperkirakan masa inkubasi (masa saat kuman masuk tubuh sampai menimbulkan tanda pertama sakit) penyakit ini  adalah 2-5 tahun (Kemenkes RI, 2007). 

Gejala Klinik
    Infeksi subklinis adalah saat kuman kusta telah masuk tetapi individu tersebut tidak menunjukkan adanya gejala klinis dari penyakit. Adanya kuman yang masuk diketahui dari pemeriksaan laboratorium, bisa secara bakteriologik yaitu dengan ditemukannya kuman atau bisa secara imunologik sebagai akibat masuknya kuman kedalam tubuh (Kemenkes RI, 2007).

Diagnosis Penyakit Kusta
    Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat (Kemenkes RI, 2007). Atas dasar definisi tersebut maka untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.
    Bentuk kelainan penderita bervariasi mulai dari keluhan adanya kulit yang tidak berasa, rasa kesemutan, nyeri saraf ataupun adanya gangguan akibat kelumpuhan otot pada tangan dan kaki. Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau cardinal sign pada tubuh, yaitu (Kemenkes RI, 2007) :
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) (Kemenkes RI, 2007) :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
    Kelainan kulit/lesi dapat berupa bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa.
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
    -Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
    -Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise).
    -Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya bakteri tahan asan (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif).
    Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis, namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan tanda-tanda utama atau hasil masih meragukan, maka orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai mengidap kusta (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) (Kemenkes RI, 2007) :
1. Tanda-tanda pada kulit
    - Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh
    - Kulit mengkilap
    - Bercak yang tidak gatal
    - Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak memiliki rambut
    - Lepuh akan tetapi tidak nyeri
2. Tanda-tanda pada saraf
    - Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota tubuh atau wajah.
    - Gangguan gerak anggota tubuh atau bagian wajah
    - Adanya kecacatan (deformitas)
    - Luka (ulkus) yang tidak kunjung sembuh.
Klasifikasi Penyakit Kusta
    Sebenarnya dikenal banyak jenis klasifikasi penyakit kusta yang cukup menyulitkan, misalnya klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan WHO. Sebagian besar penentuan klasifikasi ini didasarkan pada tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman.
    Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu tipe Paucibacillar (PB) dan tipe Multibacillary (MB). Dasar dari klasifikasi ini adalah gambaran klinis dan hasil pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) melalui skin smear
    Pada pertengahan tahun 1997, WHO Expert Committee menganjurkan klasifikasi kusta menjadi PB lesi tunggal (Single lesion), PB lesi 2-3 dan MB. Sampai sekarang secara nasional pengobatan PB lesi tunggal disamakan dengan PB lesi 2-3.

Reaksi Kusta
    Satu karakteristik dari penyakit kusta yang menjadi penyebab terjadinya cacat adalah terjadinya peradangan yang mengenai saraf(neuritis). Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellulair respons) atau reaksi antigen antibody (humoral respons) dengan akibat yang merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat).
    Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Gambaran klinisnya sangat khas berupa merah, panas, bengkak, nyeri dan dapat disertai gangguan fungsi saraf. Namun tidak semua gejala reaksi serupa. Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum jelas. Diperkirakan bahwa sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting.

Beberapa diantaranya adalah :
1. Penderita dalam kondisi stress fisik, karena :
    - Kehamilan, setelah melahirkan (masa nifas)
    - Sesudah mendapatkan imunisasi
    - Penyakit-penyakit infeksi penyerta, misalnya malaria, kecacingan, karies gigi.
    - Anemia
    - Kurang gizi
    - Kelelahan
2. Penderita dalam kondisi stress mental, karena :
    - Malu
    - Takut
3. Lain-lain seperti pemakaian obat-obatan yang meningkatkan kekebalan tubuh.
    Ditinjau dari proses terjadinya, maka reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe. Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal, dan reaksi tipe 2 atauerythema nodusum leprosum (ENL). Reaksi tipe 1 diduga diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler, sementara reaksi tipe 2 oleh imunitas humoral.
1. Reaksi tipe 1
    Reaksi ini lebih banyak terjadi pada penderita-penderita yang berada pada Spectrum Borderline (borderline lepromatous, borderline borderline, borderline tuberculoid). Disebut demikian karena posisi borderline ini merupakan tipe yang tidak stabil. Reaksi ini terutama terjadi selama pengobatan dan terjadi karena peningkatan hebat respon radang pada daerah kulit dan saraf yang terkena penyakit ini. Dari sudut pandang pembasmian bakteri, respon upgrading bisa menguntungkan. Tetapi, inflamasi pada jaringan saraf dapat mengakibatkan kerusakan dan kecacatan yang timbulnya dalam hitungan hari, jika tidak ditangani dengan adekuat.
    Gejala-gejala reaksi tipe 1 ini dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan. Kulit merah, bengkak, nyeri dan panas. Pada saraf, manifestasi yang terjadi berupa nyeri atau gangguan fungsi saraf. Kadang-kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum penderita  seperti demam dan lain-lain.
    Reaksi kusta tipe 1 ini dapat dibedakan atas reaksi ringan dan reaksi berat dengan pemeriksaan POD (Prevention of Dissability).
2. Reaksi tipe 2
    Terjadi pada penderita tipe MB dan merupakan reaksi humoral karena tingginya respons imun humoral pada penderita borderline lepromatous (BL) dan lepromatous lepromatous (LL), dimana tubuh membentuk antibodi karena salah satu protein M. Leprae tersebut bersifat antigenic. Banyaknya antibodi yang terbentuk disebabkan oleh banyaknya antigen (protein kuman). Antigen yang ada akan bereaksi dengan antibodi dan akan mengaktifkan sistem komplemen membentuk kompleks imun : Antigen + Antibodi + Komplemen. Kompleks imun tersebut akan menimbulkan respon peradangan dan akan terdegradasi dalam beberapa hari. Oleh karena reaksi yang terjadi (pada kulit) nampak sebagai kumpulan nodul merah, maka disebut sebagai ENL (erythema nodusum leprosum) dengan konsistensi lunak dan nyeri. Kompleks imun tersebut umumnya terjadi ekstravaskuler, beredar dalam sirkulasi darah sehingga dapat mengendap ke berbagai organ, terutama pada lokasi dimana M. Leprae berada dalam konsentrasi tinggi : yaitu pada kulit, saraf, limfonodus, dan testis. Umumnya menghilang dalam 10 hari atau lebih, dan bekasnya kadang menimbulkan hiperpigmentasi. Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 3 minggu atau lebih.
    Untuk mengetahui perbedaan ringan dan berat reaksi tipe 1, dan tipe 2 dapat dilihat pada tabel berikut :
* Catatan : Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf dikategorikan sebagai reaksi berat.
Penanganan Reaksi
    Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dahulu lakukan identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal ini dapat dilihat dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada format pencatatan pencegahan cacat (POD), yaitu :
    1. Adanya lagophtalmus baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
    2. Adanya nyeri raba saraf tepi
    3. Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan terakhir
    4. Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
    5. Adanya bercak pecah atau nodul pecah
    6. Adanya bercak aktif (meradang) diatas lokasi saraf tepi.
    Jika ada salah satu gejala diatas maka terdapat reaksi berat dan perlu diberikan obat anti reaksi.

Penanganan reaksi ringan
1. Berobat jalan, istirahat di rumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. MDT diberikan terus dengan dosis tetap
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

Penanganan reaksi berat
1. Immobilisasi lokal/istirahat dirumah
2. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu
3. MDT tetap diberikan dengan dosis yang tidak diubah
4. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
5. Memberikan obat anti reaksi (prednisone, lamprene)
6. Bila ada indikasi rawat inap, penderita dikirim kerumah sakit
7. Reaksi tipe 2 berulang diberikan prednisone dan lamprene.
Cacat Kusta
Tingkat Kerusakan Saraf
    Sebagian besar masalah kecacatan pada penderita kusta ini terjadi akibat penyakit kusta yang terutama menyerang saraf perifer. Saraf perifer yang terkena akan mengalami beberapa tingkat kerusakan, yaitu :
1. Stage of involvement
    Pada tingkat ini saraf menjadi lebih tebal dari normal (penebalan saraf) dan mungkin disertai rasa nyeri tekan dan nyeri spontan pada saraf perifer tersebut, tetapi belum disertai gangguan fungsi saraf, misalnya anestesi atau kelemahan otot.
2. Stage of damage
    Pada tahap ini, saraf telah rusak dan fungsi saraf tersebut telah terganggu. Kerusakan fungsi saraf seperti kehilangan fungsi saraf otonom, sensoris dan kelemahan otot menunjukkan bahwa saraf tersebut telah mengalami paralisis lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan. Penting sekali untuk mengenali tingkat kerusakan, karena dengan pengobatan pada tingkat ini kerusakan saraf yang permanen dapat dihindari.
3. Stage of destruction
    Pada tingkat ini saraf telah rusak secara lengkap. Diagnosis stage of destruction ditegakkan bila kerusakan atau paralisis saraf secara lengkap lebih baik dari satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan pengobatan fungsi saraf tidak dapat diperbaiki.
Proses Terjadinya Cacat Kusta
    Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses (Kemenkes RI, 2007) :
1. Infiltrasi langsung M. Leprae ke susunan saraf tepi dan organ (misalnya : mata)
2. Melalui reaksi kusta
    Secara umum fungsi saraf dikenal ada 3 macam fungsi saraf, yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensorik memberi sensasi raba, dan fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena. Apakah sensoris, motoris, otonom, maupun kombinasi dari ketiganya.
    Berikut adalah gambar yang menggambarkan proses terjadinya kecacatan akibat kerusakan dari fungsi saraf :
Gambar 1
Gangguan fungsi saraf tepi

    Sesuai patogenesisnya, susunan saraf yang terkena akibat penyakit ini adalah susunan saraf perifer, khususnya beberapa saraf berikut : saraf facialis, radialis, ulnaris, medianus, poplitea lateralis (peroneus communis) dan tibialis posterior. Kerusakan fungsi sensoris, motoris maupun otonom dari saraf-saraf tersebut secara spesifik memperlihatkan gambaran kecacatan yang khas.
Berikut adalah tabel yang memperlihatkan kecacatan karena terganggunya fungsi saraf-saraf tersebut.
Table 2
Fungsi saraf dan kecacatan
2.1.10.1 Klasifikasi kecacatan
    Kecacatan merupakan istilah yang luas yang maknanya mencakup setiap kerusakan, pembatasan aktivitas yang mengenai seseorang. Tiap penderita baru yang ditemukan harus dicatat tingkat cacatnya karena menunjukkan kondisi penderita pada saat diagnosis ditegakkan. Tiap organ (mata, tangan dan kaki) diberi tingkat cacat sendiri. Angka cacat tertinggi merupakan cacat untuk penderita tersebut (tingkat cacat umum).
    Tingkat cacat juga digunakan untuk menilai kualitas penanganan pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas. Fungsi lain dari tingkat cacat adalah untuk menilai kualitas penemuan dengan melihat proporsi cacat tingkat 2 diantara penderita baru.

Tabel 3
Klasifikasi tingkat kecacatan di Indonesia
1. Cacat tingkat 0
    Cacat tingkat 0 artinya tidak ada cacat
2. Cacat tingkat 1     :
    Adalah cacat yang disebabkan oleh kerusakan saraf sensoris yang tidak terlihat seperti hilangnya rasa raba pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki. Gangguan fungsi sensoris pada mata tidak diperiksa di lapangan, karena itu tidak ada cacat tingkat 1 pada mata.
    Cacat tingkat 1 pada telapak kaki berisiko terjadinya ulkus plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal ini dapat dicegah.
Mati rasa pada bercak bukan merupakan cacat tingkat 1 karena bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal kecil pada kulit.
3. Cacat tingkat 2 berarti cacat atau kerusakan yang terlihat.
Untuk mata :
- Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagopthalmus)
- Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi ulserasi kornea atau uveitis)
- Gangguan penglihatan berat atau kebutaan
Untuk tangan dan kaki :
- Luka dan ulkus ditelapak
Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki semper atau jari kontraktur) dan atau hilangnya jaringan (atrophi) atau reabsorbsi parsial jari-jari.
Jenis Cacat Pada Penyakit Kusta
    Kecacatan yang timbul pada penyakit kusta juga dapat dikelompokkan menjadi cacat primer dan cacat sekunder. Cacat primer adalah cacat yang langsung disebabkan oleh serangan M. Leprae pada jaringan, termasuk kerusakan akibat reaksi tubuh terhadap infeksi tersebut. Cacat sekunder merupakan cacat yang tidak langsung disebabkan oleh penyakit kusta itu sendiri, melainkan akibat dari cacat primer seperti anestesi atau paralisis anggota tubuh. Kebanyakan cacat pada penderita kusta disebabkan secara tidak langsung oleh luka-luka sekunder pada tangan, kaki atau mata yang telah hilang rasa.

Patogenesis Cacat Crimer
    Cara penularan kusta yang paling banyak dianut para ahli adalah lewat saluran pernafasan bagian atas. Pada orang yang sensitif maka M.Leprae magrofag di alveolus akan mengalami multiplikasi, kemudian lewat sistem limfatik pulmonal masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
    Keadaan selanjutnya tergantung pada sistem imunitas selular penderita terhadap M.Leprae. sebagian besar yang kontak dengan M.Leprae tidak mengalami gejala klinik, sedang pada penderita dengan respon imun selular rendah akan timbul diseminasi infeksi yang memberi gambaran kusta lepromatosa. Penderita dengan respon imunitas selular yang kuat terhadap M.Leprae maka infeksi akan dilokalisasikan di beberapa bagian tubuh yang akan menimbulkan gejala kusta tuberculoid.
    Walaupun saraf paling mudah terserang infeksi M.Leprae, tetapi tidak semua jenis saraf dan batang saraf akan mengalami kerusakan. Beberapa hal yang menyebabkan jenis saraf tertentu menjadi mudah rusak adalah letaknya superficial, suhu lebih rendah, rawan terhadap trauma dan tekanan, dekat dengan tulang dan tendon, terletak pada celah osteofasial yang kaku sehingga mudah terjadikonstruksi. Beberapa saraf yang memenuhi tersebut antara lain nervus ulnaris di proksimal sendi siku nervus medianus di proksimaltulang carpal dan proksimal sendi siku, nervus radialis ditempat melingkar humerus dibawah insersi otot deltoidnervus paroneus diproksimal collum fibulenervus tibialis posterior di proksimal alleolus medialis, nervus fasialis cabang temporal dan zygomaticus, dannervus trigeminus. Bryceston A & Pfaltzgraf (1990).

Termasuk Cacat Primer adalah :
1. Cacat pada fungsi saraf sensorik seperti anesthesia, fungsi saraf motorik adalah claw handfood drop, dan cacat pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.
2. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan sub kutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat. Kerusakan folikel rambut menyebabkan madorosis, kulit kering tidak elastis.
3. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligament, sendi, tulang rawan dan bola mata.

Patogenesis Cacat Sekunder
    Cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, karena tidak dicegah dengan pengobatan sedini mungkin, cacat tersebut akibat adanya kerusakan saraf (sensorik, motorik dan otonom). Anestesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya. Anestesi ini menyebabkan penderita mudah terkena luka bakar, air panas atau benda panas lainnya, luka tusuk atau luka iris sering tidak dirasakannya. Luka yang tidak dirawat ini akan berlanjut menjadi ulserasiluas, terjadi infeksi sekunder yang selain menghambat penyembuhan luka, juga menimbulkan osteomielitis yang menimbulkan kerusakan pembuluh darah kulit yang menyebabkan hilangnya tonus pembuluh darah dan bendungan kapiler. Bryceston.A & Pfalitzgraf (1990).
    Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan mengenggam atau berjalan, juga memudahkan terjadinya luka. Kehilangan jaringan, terjadi pada jaringan otot yang mengecil setelah mengalami kelemahan dan kelumpuhan otot. Demikian pula lagoptalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga mudah timbul keratitis. Kelumpuhan saraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas berkurang. Hal ini menyebabkan kulit retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.
Pencegahan Cacat
    Tujuan umum pencegahan cacat adalah jangan sampai ada cacat yang timbul atau bertambah berat setelah penderita terdaftar dalam program pengobatan dan pengawasan. Usaha pencegahan cacat diperhatikan agar penderita yang berobat tingkat cacatnya tidak bertambah dengan ditangani oleh petugas kesehatan. Setiap kali penderita mengambil obat di Puskesmas, petugas harus memeriksa kondisi tubuh mulai dari kepala, tangan dan kaki. Petugas perlu memberikan nasihat cara pencegahan cacat pada daerah yang sering menimbulkan cacat.
    Tujuan pencegahan cacat pada kusta menurut Wisnu dan Gudadi (1997)  adalah sebagai berikut :
1. Mencegah timbulnya cacat pada saat diagnosis kusta ditegakkan dan diobati, untuk tujuan ini diagnosis dini dan terapi rasional perlu ditegakkan dengan cepat dan tepat.
2. Mencegah agar cacat yang telah terjadi tidak menjadi lebih berat. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan :
    - Melindungi dan menjaga tanga dan kaki yang anestesi
    - Melindungi mata dari kerusakan dan menjaga penglihatan
    - Menjaga fungsi saraf
3. Menjaga agar cacat yang telah baik tidak kambuh lagi
    Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu dengan melakukan pencatatan data dasar setiap pasien pada waktu registrasi. Untuk itu telah disediakan lembaran pencatatan pencegahan cacat yang perlu diisi dengan cermat.
Dilakukan pemeriksaan penderita meliputi :
1. Pemeriksaan mata
Pemeriksaan mata penderita, apakah berkedip secara teratur atau salah satu mata berkedip terlambat, pemeriksaan visus berkurang atau tidak.
2. Pemeriksaan tangan
Nyeri tekan pada syaraf, dapat dilihat dari raut muka penderita. Saraf ulnaris dapat diraba diatas siku bagian dalam, kekuatan otot dan rasa raba.
3. Pemeriksaan kaki
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan nyeri tekan pada saraf, kekuatan otot dan rasa raba. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut kemudian dilakukan tindakan :
    - Menentukan apakah penderita sedang dalam keadaan reaksi berat yang perlu diobati dengan prednison. Menentukan dan mengobati reaksi berat sedini mungkin merupakan salah satu aspek pencegahan yang terpenting.
    - Bila penderita dengan reaksi berat tidak ditangani cepat dan tepat, kemungkinan besar akan timbul cacat yang menetap.
    - Mengajarkan cara merawat diri kepada penderita dengan cacat yang sudah menetap. Perlu dijelaskan pada penderita bahwa cacat yang menetap tidak dapat disembuhkan lagi karena sudah terlambat, tetapi perlu dilakukan upaya untuk mencegah kecacatan bertambah berat dengan melakukan perawatan terhadap diri sendiri.
Upaya Pencegahan Cacat
    Upaya pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya.
    Disamping itu untuk mengubah pandangan yang salah dari masyarakat antara lain bahwa kusta identik dengan kecacatan. Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
Upaya Pencegahan Cacat Primer
Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam upaya pencegahan cacat primer adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis dini
2. Pengobatan secara teratur dan adekuat
3. Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis, termasuk silent neuritis
4. Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi
    Karena kecacatan kusta adalah akibat gangguan saraf perifer, maka pemeriksaan saraf perifer harus dilakukan secara teliti dan benar, namun cukup sederhana dan murah. Pemeriksaan ini meliputi :
1. Pemeriksaan fungsi sensorik
Untuk fungsi ini perlu diperiksa fungsi saraf sensorik telapak tangan pada daerah yang disarafi oleh nervus ulnaris dan medianus. Pada daerah telapak kaki adalah untuk daerah yang disarafi oleh nervus Tibialis posterior
2. Pemeriksaan fungsi motorik
Alat pengukut yang dipakai adalah MMT (Manual Muscle Testing) dan VMT (Volume Muscle Testing)
3. Pemeriksaan fungsi otonom
Fungsi otonom diperiksa dengan cara memeriksa kebasahan telapak tangan maupun kaki dengan menggenggam tangan penderita (fungsi kelenjar keringat). Pada keadaan dini, bila berbagai gangguan cepat diketahui, maka dengan terapi medikamentosa serta tindakan perlindungan saraf dari kerusakan lebih lanjut, maka hasilnya akan sangat baik (Kemenkes, 2002).
Upaya Pencegahan Cacat Sekunder
Kegiatan yang perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan cacat sekunder, antara lain :
1. Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka.
2. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
3. Bedah konstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
4. Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi sehingga pada proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang
5. Perawatan mata, tangan dan kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.

No comments:

Post a Comment